Bekal Melanglang Buana

November 19, 2012


 “Alunan gendhing jawa itu yang selalu membuat gadis mungil ini menari lemah gemulai dan telah menyatu dengan jiwanya. Gadis modern yang tetap memegang warisan budaya.”


            Tak ada yang berbeda dengan gadis mungil di era modernisasi saat ini. Gadis sederhana, yang berparas manis dan berdandan seperti gadis modern lainnya. Namanya Mita Anggriani, “panggil saja Mita”, pintanya padaku. Aku mengenalnya disebuah komunitas tari yang ada di Surabaya. Tapi aku wajib panggil dia kak, karena dia lebih tua dari ku.
            Kak Mita gemar sekali menari, sama halnya denganku. Namun bedanya dia benar-benar mendalami berbagai tarian dari daerah-daerah di Indonesia. “tarian daerah yang ada di Indonesia itu beragam, dan disetiap tarian memiliki berbagai makna yang berbeda-beda,” jelasnya padaku saat itu.
            “tarian Indonesia itu indah, Kak” sahutku.
            Kak Mita hanya tersenyum kecil padaku.
            Di perjalanan menuju sanggar, aku mencoba untuk lebih mengenal lebih dekat tentangnya. Pertanyaan awal yang terlontar dariku adalah dari mana kota asalnya, sebab logat bicaranya yang membuatku bertanya seperti itu.
            “Saya dari Yogyakarta, tepatnya di kaki gunung merapi,” jawabnya dengan logat jawa tengah. “sedikit di pelosok, tapi tetap menjadi gadis modern, dong.” selintingannya usai menjawab pertanyaanku.
            “oh, pantas saja logat kakak terlihat bukan orang asli Surabaya.” ujarku
            “sudah 5 tahun saya tinggal di Surabaya, karena kecintaanku untuk belajar mengenai budaya Indonesia.”
            “lalu, berapa usia kakak sekarang?”
            “23 tahun.”
            “ooh.” jawabku singkat. Kak Mita langsung berjalan masuk kedalam ruang ganti untuk persiapan latihan hari ini.

***

Aku takkan melupakan senja ini, ketika kak Mita dengan senyuman khasnya itu mengajariku tentang beberapa gerakan tari gambyong. Gerakkannya yang lemah gemulai dengan alunan gendhing jawa sangat menyatu dengan jiwanya. Aku yang baru saja belajar tarian itu sangat kagum melihat Kak Mita yang sudah mahir menarikan tarian itu.
“tarian ini butuh kesabaran, dik.” katanya yang melihatku jengkel akan gerakan yang begitu lembutnya. Terang saja, aku yang terbiasa menari tarian Jawa Timur yang gerakannya tak selembut itu.
“iya, Kak” jawab salah satu temanku.
Malam kian larut, namun Kak Mita tak juga berhenti berlatih sebuah tarian yang belum pernah aku tahu. Ku hampiri Kak Mita dan ku bawakan dia secangkir teh hangat untuk menghilangkan dahaganya.
“Kak, ini ada secangkir teh untukmu” sambil menyodorkan cangkir teh untuknya
“makasih, Dek.” lalu menyeruput teh yang kuberikan padanya.
Aku yang penasaran sekali mengapa Kak Mita selarut ini masih saja berlatih,hanya menyimpan rasa penasaran itu.
“Kak, gita pulang dulu ya” aku mengambil tas ranselku yang ada disampingnya.
“hati-hati, Dek”.
Aku berjalan sendiri dengan rasa penasaran dibawah lampu jalan dan sesekali mobil lewat.

***

Sebenarnya hari ini sanggar libur tak ada jadwal latihan untuk hari ini, tapi saat Aku melewati sanggar pintu salah satu ruangan terbuka. Seketika aku menjadi penasaran dan lebih memilih untuk masuk ke sanggar dan memastikan siapa yang ada di dalam sana.
Awalnnya aku ragu untuk meneruskan langkah kakiku untuk masuk ke sanggar, secara sanggar ini bangunan cagar budaya yang notabene peninggalan Belanda. Sedikit merinding ketika aku semakin dekat dengan ruangan yang terbuka itu dan terdengar alunan irama tari yang persis sekali dengan malam dua hari lalu. Dan ternyata dugaanku benar. Kak Mita. Dia sedang berlatih tarian itu. Serius meskipun dalam suasana yang cukup membuat merinding menurutku.
“hai, Kak.” aku sekadar menyapanya untuk memastikan bahwa itu dia, lalu aku pergi karena tak ingin mengganggu konsentrasinya.

***

Tiga hari kemudian rasa penasaranku itu terjawab sudah. Di lorong sanggar aku sedikit mendengar pembicaraan Kak Mita dengan Bu Ratih si kepala sanggar tari. Kesimpulannya sih, keseriusan kak Mita berlatih beberapa hari kemarin itu untuk bekal dia di festival budaya yang akan diselenggarakan di Boston, Amerika Serikat.
Seketika aku jadi merinding, bukan karena hal-hal yang begituan, melainkan karena Kak Mita yang hanya karena kecintaannnya dengan tarian daerah Indonesia dapat menjejakkan kakinya ke Boston, dan tak keluar uang sepersenpun.
Saat Ku bertemu dengannya satu kata yang terlontar dari ku “hebat kau, Kak.” mataku yang sedikit berbinar-binar mengatakan kata itu padanya.
“terimakasih, Dek. Kamu pasti juga bisa seperti saya.” jawabnya
Hatiku terketuk dengan ucapannya itu.
Tak hanya pandai menari tapi kak Mita juga mengenal dan mencintai sekali budaya Indonesia. Memang aku baru saja mengenalnya, sembari membereskan barang-barangnya dia mengajakku berbicara dengan akrabnya. Dan ternyata ini bukan kali pertama dia membawa nama Indonesia di dunia internasional hanya dengan bekal kecintaannya dengan budaya Indonesia.
“yaa.. tak harus bersekolah di jurusan budaya, cukup bersungguh-sungguh mencintai tanah air itu bisa membuatmu keliling dunia dengan rasa bangga membawa nama Indonesia.” ujarnya meyakinkanku.

***

You Might Also Like

2 comments

thank you ^^