Bahasa: FONOLOGI

October 06, 2013

Fonologi dulu sering disebut dengan phonemics dan dewasa ini lebih sering kali disebut phonology.
Fonologi adalah bidang dalam linguistik yang menyelidiki bunyi- bunyi bahasa menurut fungsinya. 
Dengan demikian fonologi merupakan sistem bunyi dalam bahasa Indonesia atau dapat juga dikatakan bahwa fonologi adalah ilmu tentang bunyi bahasa.
Fonologi dalam tataran ilmu bahasa dibagi dua bagian, yakni:


A.         Fonetik
Fonetik adalah merupakan cabang fonologi yang menyelidiki bunyi bahasa menurut cara pelafalan, sifat-sifat akuistiknya, dan cara penerimaannya oleh telinga manusia (yang tidak menyebabkan perubahan identitas suatu fonem).
Ketika kita mendiskripsikan bahwa bunyi [p] dalam bahasa indonesia adalah bunyi yang dilafalkan dengan menutup kedua bibir lalu melepaskannya sehingga udara keluar dengan letupan.
Contoh:
Bunyi [i] yang terdapat pada kata [intan], [angin], dan [batik] adalah tidak sama.
Bunyi [p] yang terdapat pada kata [pace], [space],  dan [map] adalah tidak sama.

Macam – macam fonetik :
·      Fonetik artikulatoris adalah cabang ilmu fonetik yang mempelajari dan menyelidiki bagaimana pengartikulasian bunyi-bunyi di dalam bahasa.
·      Fonetik akuistis adalah cabang ilmu fonetik yang menyelidiki bunyi bahasa sebagai getaran udara.
·      Fonetis auditoris adalah cabang ilmu fonetik yang melakukan penyelidikan tentang cara-cara penerimaan bunyi bahasa oleh telinga manusia.

Cara bekerja alat-alat bicara
1)   Antara pita-pita suara; yang dihasilkan adalah bunyi bersuara (voiced sounds).
2)   Antara akar lidah dan dinding belakang rongga kerongkongan, hasilnya bunyi faringal[ h ].
3)   Antara pangkal lidah dan anak tekak, hasilnya bunyi uvular; misal. [ r ].
4)   Antara pangkal lidah dan langit - langit lunak, hasilnya adalah bunyi dorso-velar; misal. [ k, g, h, C].
5)   Antara tengah lidah dan langit  - langit keras, hasilnya bunyi medio-laminal [ ò, t, d ].
6)   Antara daun lidah dan langit  - langit keras, hasilnya lamino-alveolar [s, z ].
7)   Antara ujung lidah dan langit  - langit keras, hasilnya bunyi apiko-palatal/retroflex.
8)   Antara ujung lidah dan lengkung kaki gigi, hasilnya bunyi apiko-alveolar [ t, d ].
9)   Antara ujung lidah dan gigi atas, hasilnya bunyi apiko-dental [ q ]
10)     Antara gigi atas dan bibir bawah, hasilnya bunyi labio-dental [ f, v ].
11)     Antara bibir atas dan bibir bawah, hasilnya bunyi bilabial [ p, b, w ]

Konsonan dan vokal
Dalam mengucapkan vokal terjadilah alur sempit antara pita suara, dan tidak ada halangan lain di tempat lain pada waktu yang sama. Konsonan ada yang bersuara, yang terjadi bila ada alur sempit di antara pita suara, dan ada yang tak bersuara, yang terjadi bila tempat artikulasi yang bersangkutan sajalah yang merupakan alur sempit sedang pita suara itu terbuka agak lebar. Ada juga bunyi semi-vokal (semi-vowels), merupakan termasuk konsonan yang kualitasnya ditentukan oleh alur sempit dan bangun mulut mis. [ j, w ]

Beberapa jenis konsonan
a.    Bunyi letupan (plosives, stops) – bunyi yang dihasilkan dengan menghambat arus udara sama sekali di tempat artikulasi tertentu secara tiba-tiba, sesudahnya alat-alat bicara di tempat artikulasi tersebut dilepaskan kembali.
b.   Kontinuan (continuants) – semua bunyi yang bukan letupan.
c.    Sengau – bunyi yang dihasilkan denganmenutup arus udara ke luar melalui rongga mulut tetapi membuka jalan agar dapat keluar melalui rongga hidung.
d.   Sampingan (laterals) – bunyi yang dihasilkan dengan menghalangi arus udara sehingga keluar melalui sebelah atau biasanya kedua sisi lidah.
e.    Paduan atau affrikat (affricates) – dihasilkan dengan menghambat aliran udara di salah satu tempat artikulasi dimana juga bunyi letupan diartikulasikan, lalu dilepaskan secara frikatif.
f.    Geseran atau frikatif (frivatives) – adalah bunyi yang dihasilkan oleh alur yang amat sempit sehingga sebagaian besar arus udara terhambat.
g.   Geletar (trills) – bunyi yang dihasilkan dengan mengartikulasikan ujung lidah pada lengkung kaki gigi, segera melepaskannya dan segera lagi mengartikulasikannya, dst.
h.   Alir (liquids) – bunyi yang dihasilkan dengan terbentuknya alur sempit antara pita-pita suara dengan tempat artikulasi sedemikian rupa sehingga alur sempit yang kedua tidak ada (tidak ada bunyi frikatif)
i.     Kembar atau geminat (geminates) – konsonan yang terjadi dengan memperpanjangkannya kalau bunyi itu sesuatu kontinuan atau dengan memperpanjang waktu antara implosi dan eksplosi dalam hal bunyi letupan.

Semi-vokal
Semi-vokal bukan vokal yang murni, bukan pula konsonan yang murni. Tetapi praktis dianggap konsonan saja. Kwalitas semi-vokal ditentukan tidak hanya oleh tempat artikulasi tetapi juga bangun mulut atau sikap mulut.

Beberapa jenis vokal
1)   Menurut posisi lidah yang membentuk ruang resonansi, digolongkan atas vokal depan (front vowels), vokal tengah (central vowels), dan vokal belakang (back vowels).
2)   Menurut posisi tinggi rendahnya lidah, digolongkan menjadi vokal tinggi (high vowels), vokal madya (mid vowels), dan vokal rendah (low vowels).
3)   Menurut peranan bibir, digolongkan menjadi vokal bundar (rounded vowels) dan vokal tak bundar (unrounded vowels).
4)   Menurut lamanya pengucapan vokal dengan mempertahankan posisi alat-alat bicara yang sama, ada vokal panjang (long vowels) dan vokal pendek (short vowels).
5)   Menurut peranan rongga hidung, dapat dibedakan menjadi vokal sengau (nasal vowels) dan vokal oral/mulut (oral vowels).

Vokal rangkap dua
Selain dari penggolongan diatas, kita juga mengenal beberapa vokal yang digolongkan sebagai vokal rangkap dua atau diftong (diphthongs). Dua vokal berurutan yang diucapkan dalam satu waktu.
Vokal rangkap dua ini terdiri dari dua bagian, yang pertama dengan posisi lidah lain dibandingkan dengan posisinya pada yang kedua. Namun, yang dihasilkan dengan cara tersebut bukan dua vokal, karena terdapat dalam satu suku kata.
Contoh : [au] dalam kata kalau, [ai] dalam kata balai. Tetapi [a] + [u] dalam kata daun atau [a] + [i] dalam kata air adalah contoh dari vokal tunggal.

Suku Kata
Bagian kata yang diucapkan dalam satu hembusan nafas dan umumnya terdiri atas beberapa fonem. Seperti kata datang diucapkan dengan dua hembusan nafas, satu untuk da- dan satu lagi untuk tang.

Tekanan
Tekanan yang dimaksud dalam hal ini menyangkut keras lembutnya bunyi yang diucapkan oleh manusia.

Nada
Nada berkenaan dengan tinggi rendahnya suatu bunyi (intonasi).

Asimilasi fonetis
Yang dimaksud dengan asimilasi fonetis ialah saling pengaruh yang terjadi antara bunyi yang berdampingan (bunyi kontigu) atau antara yang berdekatan tetapi dengan bunyi lain di antaranya dalam ujaran (bunyi diskret). Misalnya : bad vokalnya lebih panjang dibandingkan dengan vokal kata bat dan sebabnya ialah bahwa bunyi [d], sebagai bunyi letupan bersuara pada akhir kata, memperpanjang vokal yang mendahuluinya. Asimilasi yang tidak menyebabkan berubahnya ciri-ciri identitas, atau status suatu fonem.

B.         Fonemik
Fonemik adalah ilmu bahasa yang membahas bunyi – bunyi bahasa yang berfungsi sebagai pembeda makna (yang menyebabkan berubahnya identitas suatu fonem).
Jika dalam fonetik kita mempelajari segala macam bunyi yang dapat dihasilkan oleh alat-alat ucap serta bagaimana tiap-tiap bunyi itu dilaksanakan,  maka dalam fonemik kita mempelajari dan menyelidiki kemungkinan-kemungkinan, bunyi-ujaran yang manakah yang dapat mempunyai fungsi untuk membedakan arti.
Contoh :
·      Perbedaan bunyi [p] dan [b] yang terdapat pada kata [paru] dan [baru] adalah yang menjadi contoh sasaran studi fonemik, sebab perbedaan bunyi [p] dan [b] itu menyebabkan berbedanya makna [paru] dan [baru].
·      Perbedaan bunyi [l] dan [r] yang terdapat pada kata [laba] dan [raba] adalah yang menjadi contoh sasaran studi fonemik, sebab perbedaan bunyi [l] dan [r] itu menyebabkan berbedanya makna [laba] dan [raba].
·      b       a          b          i           ‘binatang berkaki empat’
↓                   ↓                     
p       a          p          i           sebutan lain untuk ayah

Pada contoh di atas, kata babi memiliki dua konsonan [b] yang menjadi awal suku kata pertama dan kedua sedangkan kata papi memiliki konsonan [p] sebagai awal suku kata pertama dan keduanya. Selain kedua bunyi itu, bunyi lainnya dan posisi/urutan bunyi lain itu sama. Perbedaan bunyi [b] dan [p] pada posisi/urutan yang sama dapat mengubah makna kata.

Asimilasi fonemis
Yaitu asimilasi yang menyebabkan berubahnya ciri-ciri atau identitas suatu fonem. Asimilasi jenis ini yaitu mengubah suatu fonem tertentu menjadi fonem yang lain dan penekanan asimilasi ini hanya terjadi pada fonem tertentu saja.

Beberapa jenis asimilasi fonemis
·      Asimilasi Progresif yaitu asimilasi yang proses pengaruhnya suatu bunyi pada suatu bunyi setelahnya, poses ini terjadi bila fonemnya yang berubah dan disesuaikan dengan fonem sebelumnya, dan juga terjadi jika terletak di belakang bunyi mempengaruhinya.
·      Asimilasi Regresif yaitu asimilasi yang fonemnya akan mengalami perubahan jika fonem tersebut terletak sebelum fonem yang mempengaruhinya, biasanya fonem ini diubah jika terletak di depan.
·      Asimilasi Resiprokal yaitu asimilasi yag terjadi jika kedua fonem saling mempengaruhi satu sama lain sehingga menjadi bunyi yang lain

Asimilasi fonemis dalam beberapa bahasa
Terjadi tidaknya berbagai jenis asimilasi fonemis tergantung dari struktur bahasa masing-masing. Asimilasi fonemis sangat berbeda antara bahasa-bahasa. Umpamanya asimilasi resiprokal seperti dalam bahasa batak Toba agak jarang kita jumpai; asimilasi progresif dan regresif pun sangat biasa dalam bahasa Belanda, sedangkan dalam bahasa jerman asimilasi progresif sangat umum, tetapi asimilasi regresif hampir tidak ada.
Asimilasi fonemis dapat terjadi hanya pada batas morfem bebas; termasuk dalam hal ini juga kata majemuk. Kecuali dalam bahasa Inggris. Misalnya kata blackboard tidak memperlihatkan asimilasi diantara black dan board : /k/ dari black tidak menjadi /g/ akibat kebersuaraan /b/ yang berikutnya, dan /b/ tersebut tidak menjadi /p/ akibat ketakbersuaraan /k/ yang mendahuluinya.

Asimilasi dan modifikasi vokal
Asimilasi tidak mengubah fonem dan fonem yang sama dipertahankan. Asimilasi semacam itu disebut “umlaut” yang dalam bahasa Jerman berarti ‘perubahan vokal’. Istilah tersebut menjadi istilah internasional, meskipun ada istilah lain untuk fenomena yang sama juga: “mutasi” (mutation), dan “metafoni” (metaphony). Umlaut amat sering sekali terjadi dalam bahasa Jerman, tetapi di sana merupakan asimilasi “historis” (historical assimilation). Secara ringkas umlaut sebagai asimilasi fonetis secara sinkronis kita temukan dalam kata Belanda handje: sebagai asimilasi fonemis tidak kita jumpai secara sinkronis (paling sedikit tidak dalam data-data di atas). Fenomena umlaut sebagai asimilasi, baik diakronis maupun sinkronis, selalu bersifat regresif.
Kesimpulannya bahwa semua fenomena umlaut adalah pengaruh regresif. Akan tetapi para ahli lingguistik mengenal perubahan vocal yang sumbernya ada di depan dan bergerak secara progresif. Fenomena tersebut terkenal sebagai “harmoni vokal” (vowel harmony).

Netralisasi dan arkifonem
Fungsi fonem adalah membedakan makna; sebagai contoh yang sederhana dalam banyak bahasa dua fonem seperti /t/ dan /d/ dapat merupakan perbedaan minimal antara dua kata. Netralisasi selalu mengandung perpindahan identitas fonem: sesuatu fonem menjadi fonem yang lain. Hal penting dalam netralisasi ialah apakah batalnya oposisi yang bersangkutan dapat ditandai secara fonemis, dalam tulisan fonemis. Misalnya lambang /D/ tidak dapat disebut suatu “fonem” begitu saja agar jangan kesan bunyi [t] yang dihasilkan oleh netralisasi merupakan alofon dari /D/ karena /d/ dan /t/ merupakan fonem-fonem yang berbeda dalam bahasa Belanda. Karena hal tersebut para ahli fonologi mengusulkan supaya /D/ itu disebut “arkifonem” (archiphoneme), dengan fonem /t/ dan fonem /d/ sebagai anggota-anggotanya; lalu masing-masing anggota tersebut tetap berstatus fonem, bukan berstatus alofon saja.

Beberapa perubahan fonemis selain dari asimilasi dan modifikasi vokal
1)   Hilangnya bunyi dan kontraksi. Dalam hal ini kita akan membahas mengenai Variasi bebas. “Variasi bebas” di sini berarti bahwa suatu fonem boleh diganti oleh fonem lain dalam kata tertentu, kata yang sama , yaitu tanpa adanya oposisi akibat pergantian fonem tersebut. Variasi semacam itu dapat kita temukan juga dengan penghilangan salah satu fonem, misalnya dalam kata silahkan/ silakan: fonem /X/ boleh dipakai, boleh juga tidak. Biasanya fenomena ini tidak disebut “Variasi bebas” melainkan “hilangnya bunyi” (loss of sound). Contohnya shan’t (dari shall not). Penyingkatan semacam itu disebut “kontraksi”(contraction).
2)   Disimilasi (dissimilation) terjadi bila dua bunyi yang sama karena berdekatan letaknya berubah menjadi tak sama. Misalnya dalam kata Indonesia belajar bentuk berajar dihindarkan karena dalam ajar sudah ada /r/, jadi tidak terdapat lagi dalam prefiks ber-, yang /r/-nya disimilasikan dengan /r/ dari ajar menjadi konsonan tidak sama dengannya, yaitu /l/. contoh ini adalah contoh disimilasi sinkronis.
3)   Metatesis. Gejala perubahan bunyi lain disebut “metatesis”. Metatesis terjadi bila sebuah bunyi bertukar tempat dengan bunyi yang lain, misalnya brantas di samping bantras, jalur di samping lajur, kerikil di samping kelikir. Metatesis ini bersifat sinkronis dan boleh saja dipandang sebagai sesuatu hal “Variasi bebas”.

 Fonem-fonem suprasegmental
Dalam bahasa ada pula bunyi-buyi tertentu yang tidak berupa segmental, yakni terdapat sekaligus dengan satu silabe atau frase. Yang dimaksud ialah:
1)   Titinada sebagai pembeda makna leksikal
Berdasarkan pembedaan antara phonetic dan phonemic dalam peristilahan Inggris, para ahli lingguistik telah menciptakan istilah tonetic dan tonemic, untuk membedakan antara apa yang fonetis dalam “tone” itu, dan apa yang fonemis di dalamnya. Bila suatu tekanan dalam bahasa tertentu lazimnya disertai dengan nada yang lebih tinggi, maka nada tersebut adalah tonetis saja; mungkin saja tidak ada suatu bahasa dimana pengertian semacam itu mutlak perlu: para ahli lingguistik belum banyak menyelidiki mengenai masalah tersebut.

2)   Titinada dalam intonasi
Intonasi dapat menyatakan suatu modus penutur, misalnya bahwa ia marah, atau kecewa, atau kurang sabar. Dalam hal modus tersebut tidak selalu mudah membedakan antara yang fonemis and yang fonetis dalam intonasi. Bila intonasi menyatakan sesuatu modus penutur yang tak ada hubungannya dengan apa yang dinyatakan dalam kalimat yang diberi intonasi itu, maka pastilah fonetis sajalah sifat intonasi itu.



3)   Tekanan
Tekanan tidak sama dengan aksen. Apakah kerasnya yang lebih kuat itu disertai oleh nada yang lebih tinggi tidak penting. Yang penting ialah bahwa tekanan dipakai untuk menghasilkan kontras. Maka dalam hal ini tekanan pasti bersifat fonemis, bukannya fonetis.

4)   Aksen

Aksen sudah lama dikenal para ahli lingguistik sebagai pembeda makna leksikal dalam banyak bahasa. Misalnya dalam bahasa Inggris kata /’impɔ:rt/ import ‘barang yang diimpor’ (tanda ‘ dipakai utuk melambangkan aksen, dan diletakkan di depan silabe yang diberi aksen) dibedakan dari kata /’impɔ:rt / import ‘mengimpor’ hanya dengan aksen saja. Aksen dibedakan menjadi aksen naada dan aksen tekanan.

C.          Manfaat Fonologi

            Penyelidikan bunyi-bunyi bahasa suatu bahasa mempunyai fungsi yang besar dalam hal menciptakan tanda-tanda/lambang-lambang yang menyatakan bunyi ujaran. Lambang-lambang bunyi ujaran itu disebut huruf, sedangkan aturan penulisan huruf itu disebut ejaan.
            Munculnya ejaan jelas merupakan usaha yang memiliki manfaat besar,terutama untuk menyimpan informasi. Kalau ejaan dapat diterapkan sesuai dengan bunyi ujaran, tentunya, informasi yang diabadikan lewat tulisan itu juga akan lebih komunikatif. Namun, harus disadari bahwa tidak pernah ada sistem tulisan yang sempurna.
            Dalam penggunaan secara praktis, bunyi-bunyi bahasa yang beragam itu akan sulit digambarkan. Andaikan dapat menghafalkannya (dalam usaha menggunakan bahasa tulis) bukanlah pekerjaan yang gampang, apalagi jika bunyi-bunyi itu mirip. Karena itu, hasil penyelidikan fonemiklah yang seharusnya dijadikan dasar pembentukan sistem tulisan. Dasar yang harus digunakan di sini adalah sebuah fonem dilambangkan dengan satu huruf/tanda/lambing/grafem. Sistem tulisan (ejaan) yang demikian ini disebut ejaan fonemis. Dengan kata lain, ejaan fonemis ini menganut sistem monograf.
            Di samping itu, fonem /ә/ dan /è/ yang terbukti sebagai fonem-fonem yang berbeda dilambangkan dengan huruf yang sama, yakni (è). Telah terbukti pula bahwa antara /?/ (apostrof) /bisat ( ‘ ) dengan /k/ terdapat perbedaan yang fungsional, tetapi kenyataannya keduanya dilambangkan dengan huruf yang berbeda, yakni (k) atau ( ‘ ) tetapi ada perbedaan dalam pengucapannya. Satu grafem/huruf yang melambangkan dua fonem yang berbeda ini dikenal dengan istilah diafon.

Daftar Pustaka

http://effendyhafid.blogspot.com201205materi-fonologi_19.html
http//englishjava.com201210pengertian-fonologi.html
http://digitalreferensi.blogspot.com201211pengertian-fonologi.html
http://id.wiktionary.org/wiki/fonem_suprasegmental.html
Verhaar.1992.Pengantar Linguistik.Yogyakarta:Gagjah Mada University Press

You Might Also Like

0 comments

thank you ^^