Jangan Mengatasnamakan Cinta

November 24, 2016

Pernah benar-benar aku menjaga ucapanku, mungkin aku lebih itu sebagai janjiku kepada sang pencipta untuk tetap menjaga kesendirian ku hingga seorang laki-laki datang ke orang tua ku dan menjadikan aku sebagai pendamping hidupnya. Sering kita menyebutnya /jodoh.

Hari berganti hari, hingga tahun berganti tahun begitupula dengan orang yang berganti datang dan pergi. Tapi tetap, tak satupun orang membuat aku lupa sampai aku harus melanggar janji itu. Hingga pada di titik terlemah aku, yang benar-benar jauh dari-Nya.

Aku berteman dengan dia, laki-laki yang sudah membuat aku jatuh. Dekat dan semakin dekat. Rasa yang semula biasa saja semakin lama berubah rasa. Hingga aku tak mampu untuk menyimpannya sendiri. Tak bertemu dengannya sehari sama halnya dengan tidak minum dalam sehari. Haus. Aku harus menyebut ini apa?
Cinta?

Awalnya semua mengalir begitu saja. Aku menganggap itu adalah alur yang sudah dibuat oleh sang pencipta. Semua yang ku rasa aku menganggapnya adalah karunia sang pencipta. Aku hanya diam menikmati sendiri apa yang aku rasakan saat itu. Karena saat itu aku memang tidak bisa berbagi dengannya yang masih berstatus 'pacaran' dengan perempuan itu. Aku sadar dan tak lupa dengan janjiku. Rasa yang pernah ada di hati perlahan aku melupakannya, mencoba menjauh dan mencegah pertemuan yang tidak begitu sering dengannya. 

Hampir saja berhasil, aku dapat melupakan rasa itu, namun yang terjadi. Pertemuan kita kembali terlalu sering karena kewajiban yang tak dapat dihindari. Rasa yang perlahan terpendam lenyap, kembali terbongkar dan bangkit. Apa ini yang namanya cinta? Hingga suatu hari, dia menyatakan perasaan cintanya padaku. Dia mengungkapkan perasaanya selama ini yang sudah tidak bisa lagi dipendam, meskipun ketika dia masih bersama perempuan itu. 

Malam itu, sebagai malam yang membuat hatiku berdetak begitu cepat. Semua anggota tubuh ku bergetar. Apa yang laki-laki itu katakan? Katanya, "Mengapa ini terjadi lagi, kamulah jodohku."
Malam itu hening. Tubuhku hanya bergetar. Ya, bibirku juga bergetar. Karena itu aku menyuruhnya untuk diam. Jawaban apa yang harus aku berikan padanya. Apakah itu yang disebut cinta? Pikirku, bagaimana dengan perempuan itu?
Nyatanya beberapa hari setelah malam itu, dia sudah tidak dengan perempuan itu lagi. Harapku, semua terjadi bukan karena aku.

Aku benar-benar jauh, melanggar janji. Cincin yang dilingkarkan pada jemariku sebagai tanda aku menjadi kekasihnya. Tidak di hadapan orang tuaku. Begitu saja awal aku melanggar janji yang bertahun-tahun aku pegang. Itu baru awalnya. Selanjutnya, hari demi hari tak terlewatkan aku bersamanya. Entah sudah berapa banyak detik yang terlewat dengannya, sudah berapa kenangan yang bersemayam di pikiran. Semua berjalan harmonis. Sesekali berdebat karena perbedaan pendapat itu sebuah kewajaran. Sabar ku dan sabarnya telah diuji. Namun, sayang. Nyatanya kesabarannya padaku terbatas satu semester. Apakah aku sudah benar-benar membuat kesabarannya itu habis ataukah alasan lainnya. Lelaki itu meninggalkanku. Memutuskan status yang satu semester ini aku dapat dengan melanggar janji aku. Apakah ini yang dulu dia sebut cinta? Alasan klasik yang dia berikan tanpa memperjuangkan itu membuat aku tak bisa berpikir lagi. Benarkah seperti itu atau hanya sebuah dusta yang dia berikan.

Bagiku, ucapan itu tak perlu tersampaikan. Cukup melihat kenyataan yang terjadi.
Ini yang membuat aku sadar, aku sudah jauh melanggar janji aku dengan mengatasnamakan cinta. Karena cinta yang sesungguhnya adalah cinta kepada sang pencipta cinta.

Semoga, diri ini menjadi lebih istiqomah lagi menjaga hati pemilik sang pencipta. Sesungguhnya, pencipta telah menuliskan jodoh pada masing-masing manusia.

You Might Also Like

1 comments

  1. nice article..

    pls visit my blog too ==>

    https://networkingstudymaterial.blogspot.com

    https://himachalghumo.blogspot.com

    https://ittechnobits.blogspot.com

    ReplyDelete

thank you ^^